Berita Baru :
Home » » OPINI - Hikmah Rosnida

OPINI - Hikmah Rosnida

Penulis : Unknown on Friday, January 9, 2015 | 1:10 AM

Kegiatan mahasiswa yang belajar kesetaraan gender di Gereja Banda Aceh pada beberapa waktu, kegiatan ini di mobilisasi oleh Rosnida Sari, Dosen UIN Ar-Raniry.
JURNALOGIKA - ACEH selalu menjadi mainstream pemberitaan. Saat ini, aras syariat Islam-lah yang menuai banyak sorotan. Berita terkini adalah tuduhan pendangkalan akidah oleh Rosnida Sari, seorang dosen UIN Ar-Raniry, Banda Aceh. Menuliskan ini saya juga was-was, dan berpotensi dituduh aneh-aneh. Tetapi saya putuskan untuk menulis karena saya yakin ada pesan Rasulullah yang perlu kita tinjau ulang dengan kepala yang dingin dan hujjah yang relevan.
Sebagai orang yang beriman, dilema Rosnida ini jelas bukan sebuah kebetulan sejarah. Firman Allah (QS. Al-Baqarah: 26) menyebutkan bahwa Allah tidak menciptakan apa pun di dunia ini, termasuk peristiwa-peristiwa yang terkait dengan hajat hidup manusia, dengan sia-sia. Tidak ada yang kebetulan dalam hidup ini, melainkan semua ada dalam skenario Allah, tertulis di Lauh Mahfudh jauh sebelum kehidupan ini Allah ciptakan.
Dilema Rosnida juga muncul dalam frame yang kurang kondusif di saat public sedang hangat-hangatnya mendiskusikan larangan penolakan perayaan Natal dan Tahun Baru. Dalam kacamata sosiologi-politik, dilema-Rosnida harus dilihat dalam frame lain yang lebih luas. Peristiwa ini muncul di saat semangat puritanisme Islam di Aceh bangkit, setelah hampir 14 tahun bergulat melaksanakan syariat Islam.
Profil pendidikan Rosnida Sari, gelar luar negeri yang membuatnya plural?

Muncul di saat spirit puritanisme itu menjalar tanpa idea dan mazhab yang legitimate, di saat penerapan Islam memasuki ruang perdebatan dan kepentingan antaraliran. Sehingga muncul tarik-tarik menarik, misalnya tentang siapa yang lebih berwenang memberi warna pada kegiatan di Masjid Raya Baiturrahman, tempat sakral yang menjadi simbol pemegang otoritas agama di Aceh.
Lebih jauh, munculnya sinyalemen-sinyalemen untuk membersihkan Baiturrahman dari acara-acara non-ibadah, tidak boleh ada penyelenggaraan akad nikah, zikir hanya boleh dilakukan oleh kelompok jamaah tertentu, bahkan status Tarawih kompromistik antara 8 dan 12 rakaat akan ditinjau ulang. Demikianlah tarik menarik pengaruh itu terjadi disaat agama telah memasuki ruang kekuasaan.
Satu hal yang kita tidak boleh lupakan, dilema Rosnida muncul di bulan Rabiul Awal, bulan kelahiran Nabi Muhammad saw. Bukan kebetulan ini terjadi di bulan Maulid, tetapi memang Allah punya tujuan agar kita bisa mengambil hikmah dari peristiwa ini, misalnya dalam menemukan kembali makna toleransi agama, persaudaraan, dan otoritas aqidah seorang hamba Allah, seraya berharap dilema Rosnida menjadi Hikmah Rosnida.
Adalah fakta bahwa Rosnida telah membawa mahasiswanya untuk belajar di gereja. Adalah fakta bahwa Rosnida memiliki kehidupan pribadi yang tidak sesuai dengan standar yang berlaku umum dalam masyarakat muslim di Aceh seperti tentang jilbab-nya atau kedekatannya dengan hewan yang dianggap najis. Namun apakah fakta-fakta itu cukup menjadi alasan untuk menuduhnya kafir? Bekerja untuk kafir? Beberapa statemen dan SMS yang beredar malah mengarah pada ancaman dan kekerasan fisik.
Mari bersandar pada akhlak Muhammad saw. Nabi Muhammad diutus ke bumi untuk menyempurnakan akhlak kita. Innamaa bu’istu li utammima makaarimal akhlaq (Sesungguhnya aku hanya diutus untuk menyempurnakan akhlak manusia). Kata innamaa merupakan ‘adatul hasyr yang berarti “hanya”. Bahwa peristiwa ini sudah terjadi adalah fakta, tetapi dengan akhlak seperti apa kita menyikapinya? Apakah dengan akhlak Muhammad saw?
Nabi Muhammad saw itu sosok yang santun, selalu tersenyum, tidak pernah berteriak-teriak, konon lagi memaki-maki orang lain. Muhammad itu adalah arhamunnaas, manusia yang paling pengasih dan penyayang, hatta terhadap orang kafir atau yahudi yang berniat melukainya, konon lagi terhadap sahabat yang tersilap. Muhammad datang untuk seluruh umat manusia, tidak hanya untuk umat Islam, tetapi untuk seluruh ras.
Muhammad hadir untuk melahirkan komunitas yang santun. Hanya kesantunan, kesabaran, kerahiman, yang akan membuat hati mereka luluh dan tunduk pada Islam. Islam tidak mengajarkan kebencian dan sakit hati, karena rasa benci, tidak hanya menjauhkan orang-orang kafir dari Islam, bahkan bisa membuat umat Islam sendiri merasa tidak nyaman dalam cara ber-Islam yang sedang dipraktekkan komunitasnya.   
Mungkin Rosnida telah tersilap, membawa mahasiswa ke gereja tanpa prosedur izin lembaga tempat dia mengajar, maka ini menjadi wilayah administrasi yang bersangkutan. Mungkin Rosnida tersilap karena berperilaku yang tidak selaras dengan cara orang-orang Islam-Aceh berperilaku secara tipikal. Tetapi apakah cukup alasan untuk menuduhnya kafir, missionaris, dan berbagai tuduhan lainnya?
Biarlah status kafir, musyrik, akan masuk surga atau neraka, menjadi otoritas Allah Swt. Itu bukan urusan manusia, seperti fiman Allah (QS. Ali Imran: 128-129; An-Nisaa: 49; Al-An’am 56). Hanya Allah yang mengganjar setiap amalan ibadah kita dan hanya Allah yang berhak memutuskan kita ahli surga atau ahli neraka.
Kita tentu harus fair dalam memetakan mana wilayah Allah, dan mana yang wilayah manusia. Kita juga harus adil dalam melihat mana yang terbukti masalah kesyirikan dan masalah kepribadian, yang notabene menjadi urusan Rosnida dengan Allah sebagaimana firmanNya: Walaa yajrimannakum syana-aanun qaumin ‘alaa alla ta’dilu, janganlah kebencianmu pada suatu kaum membuatmu lantas tidak berlaku adil. (QS. Al-Maidah: 8).
Ribuan postingan di media sosial menggempur tindakan Rosnida

Rosnida adalah saudara kita. Laa yuhibbu ahadukum hatta yuhibba li akhiihi ma yuhibbu linafsih, tidak beriman diantara kamu hingga kamu menyayangi saudaramu seperti kamu menyayangi dirimu sendiri (Shahih Bukhari-Muslim). Mari dalam kesilapan itu, kita rangkul Rosnida. Temukan nur Muhammad dalam peristiwa ini. Sadar atau tidak, dia telah mengorbankan dirinya untuk menjadi martir bagi Aceh yang sedang bergulat menemukan spirit puritanisme Islam yang lebih humanis. Wallaahu ‘alam. 
Oleh Fajran Zain, Alumni Madrasah Ulumul Quran, Langsa. School of International Politics and Strategic Studies Australian National University, Canberra, Australia.
(email: fjzain@yahoo.com)

http://aceh.tribunnews.com/
Share this article :

Post a Comment

 
Design Template by Teuku Reza Rizki | Support by creating website | Powered by Said Arif Tirtana