Berita Baru :
Home » » OPINI - Nama STAIN Malikussaleh, Antara Rasa Bangga dan Degradasi Nilai Sejarah

OPINI - Nama STAIN Malikussaleh, Antara Rasa Bangga dan Degradasi Nilai Sejarah

Penulis : Unknown on Saturday, January 3, 2015 | 6:12 AM

Oleh : Reza Rizk

"Lantas, Marahkah Sultan Malik-Shalih jika gelarnya sebagai Sultan diburamkan oleh tokoh-tokoh berpendidikan tinggi  di Aceh Utara & Lhokseumawe masa kini? "


Sultan Malik As-Shalih - sudah salah hilang gelar, salah tulis nama pula
Bangsa Aceh dikenal dengan bangsa yang kuat agamanya, solid wibawanya dan rela mati syahid ketimbang tunduk dibawah telapak kaki penjajah, Atas dasar inilah Aceh bisa dikatakan memiliki nilai jual dan diklaim sebagai lumbung pertama berkembangnya Islam di Indonesia. 

Nama tokoh-tokoh Aceh sejak masa kerajaan hingga masa merebut kemerdekaan diperlakukan dengan penuh rasa hormat oleh generasi-generasi Aceh selanjutnya, hingga nama-nama mereka menjadi sebuah image dari kabupaten asalnya masing-masing. Maka tidak heran jika nama mereka diabadikan/disisipkan di tugu- tugu, nama jalan, gedung-gedung, lapangan maupun nama lembaga. Kita tentu pernah mendengar jalan-jalan yang bernama Cut Nyak Dhien, Jalan Panglima Polem, Jalan Iskandar Muda, Jalan Cut Meuthia dll. Terkait pengunaan nama Pahlawan Aceh pada sebuah nama lembaga, sebuah universitas di Aceh barat  juga menggunakan nama Teuku Umar yang memang berasal dari dari daerah tersebut. Begitu pula Nama Cut Nyak Meuthia yang kini menjadi sebuah nama Rumah Sakit di Aceh Utara. Ini adalah beberapa contoh bagaimana masyarakat kita memuliakan para Syahid-Syahidah Aceh terdahulu,  

Nama tokoh sering diadopsi karena kedudukannya sebagai ulama/kadi ataupun Raja/Sultan. nama harum mereka kini melekat pada intitusi maupun lembaga-lembaga pendidikan di Aceh seperti nama ulama Syekh Nuruddin Ar-Raniry  yang kini diadopsi menjadi nama UIN Ar-Raniry Banda Aceh, gelar Syech Abdurrauf As-singkili pada Universitas Syiah Kuala, dan nama Sultan Malik As-Shalih pada Universitas Malikussaleh dan Kampus kita tercinta STAIN Malikussaleh.

STAIN MALIKUSSALEH adalah sebuah kampus yang terletak di Desa Alue Awe, kecamatan Muara Dua Kota Lhokseumawe. Siapa yang tidak tahu kampus ini. Saya yakin semua pembaca artikel ini sangat paham tentang kampus ini baik dari segi letak yang strategis maupun sistem belajar ilmu agama Islam didalamnya.

Logo STAIN Malikussaleh
STAIN Malikussaleh (selanjutnya disingkat STAINMAL) adalah sebuah kampus berbasis agama Islam layaknya seperti Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) lainnya di Indonesia, PTAIN yang dinegerikan pada 5 Januari tahun 2004 (Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2004), dibawah nakhkoda Ustadz Hafifuddin.


Sebelum meraih titel “Negeri” seperti sekarang, STAINMAL dulunya adalah sebuah Akademi Agama Islam (AIA) Malikussaleh dan kemudian berganti menjadi Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Malikussaleh. STAINMal dulunya seatap dengan Universitas Malikussaleh ketika masih dibawah binaan Yayasan Malikussaleh, otomatis rasa kebanggaan terhadap nama Malikussaleh yang disandangnya ini merupakan warisan dari nama  Yayasan  tersebut.

STAIN Malikussaleh kini telah menjadi sebuah kampus besar dilingkungan, struktur bangunannya yang megah dan area kampusnya yang luas adalah sebuah bukti bahwa STAINMal telah mampu mengemban amanah yang lebih besar. Sebagaimana yang terlihat sekarang, STAINMal tengah sibuk memobilisasi  status STAIN-nya ke status yang setingkat lebih tinggi, IAIN.


Seiring zaman berganti, disaat pencapaian besar sedang di usahakan, yang dibenak saya pribadi bukanlah sebuah kebanggaan, yang timbul hanyalah sebuah rasa geli,

Rasa geli ini mutlak saya tujukan kepada PTAIN tempat kita menuntut ilmu kini. STAINMal, yang setiap tahunnya melahirkan banyak sarjana muda islam, sekaligus menjadi tempat ditempanya para calon-calon guru, akuntan dan wartawan berwatak Islami. 

Rasa Bangga

Secara garis besar, STAIN Malikussaleh Lhokseumawe mengadopsi nama Sulthan Malik As-Shalih sebagai identitasnya adalah bentuk penghargaan klasik kepada Malik As-Shalih. Namun dikemudian hari, pemakaian nama tersebut terdengar rancu bagi kita yang mengenal kedudukan Malik As-Shalih, sebagai seorang Raja/Sulthan, pendiri Kerajaan Islam Samudera Pasee yang Makamnya kini terletak di kawasan Geudong,Kecamatan Samudera Aceh Utara (20 kilometer arah timur Kota Lhokseumawe).


Awalnya, nama asli beliau adalah Meurah Silue (Raja yang Berkilau), ketika masuk Islam, beliau mengganti namanya menjadi Malik As-Shalih.  Nama Malik As-shalih berasal dari bahasa Arab yang berarti Raja yang Shalehkemudian ditambah gelar "Sultan" dibelakangnya saat menjadi Raja pertama di Samudera Pasai. Kemudian entah bagaimana hingga masyarakat kita sering menyebutnya dengan nama Malikussaleh karena pengaruh dialek lokal.


Hilang Helar Hilang Martabat
Kemudian yang jadi pertanyaannya kami, kemanakah gelar Sultan Malik As-Shalih pada nama kampus STAIN Malikussaleh kini. Sampai hati gelar kebesarannya sebagai seorang Sulthan (Raja)  yang melekat pada Raja pendakwah yang dimuliakan ini "dibasmi" . Padahal dalam artefak-artefak sejarah, khabar pada batu nisan maupun dalam kitab sejarah manapun, gelar Sulthan pada nama Sulthan Al-Malik As-Shalih tidak seorangpun berani "me-ngikis" maupun mem-politisir gelarnya demi suatu kepentingan, sebuah gelar tetaplah gelar.

Menjengkelkan memang, jika melihat dari kacamata kita sebagai masyarakat berpendidikan ,yang sudah paham tentang fungsi dan definisi sebuah gelar, baik dalam dunia pendidikan, sejarah maupun dalam kehidupan sosial bermasyarakat . Sebuah gelar adalah dasar nilai kebanggaan yang menggambarkan martabat dan tingkat pengaruh seseorang.



Sejenak, mari kita umpakan contoh ini secara sederhana, katakanlah ini terjadi pada seorang Profesor jika gelar Profesor-nya dihilangkan oleh pihak yang mengadopsi namanya, jelas beliau akan tersinggung. Begitupun seorang Dosen akan marah kepada mahasiswanya jika lupa mengutip gelar “MA” –nya dalam penulisan makalah/skripsi, ditambah seorang Haji akan merah mukanya ketika gelar “Haji”-nya sengaja tidak ditulis oleh aparat gampong di daftar surat menyurat.


Lantas, Marahkah Sultan Malik-Shalih jika gelarnya sebagai Sultan diburamkan oleh tokoh-tokoh berpendidikan tinggi di Aceh Utara & Lhokseumawe?

Secara bertubi-tubi kesalahan sebesar ini kemudian ikut ditambah kesalahan tata cara penulisan nama. Jika masyarakat awam menyebut nama Malik As-Shalih dengan Malikussaleh, yang katanya lebih enteng dalam pengucapan. Lantas kenapa kita jadi ikut-ikutan, atau memang Inilah watak kita Orang Aceh, sehingga kita tidak terkejut jika secara spontan muncul stigma negatif yang mengatakan "Ureung Aceh syit Ureung Peu Pleu Bahasa". kita orang Aceh gemar mempelintir nama seseorang sesuka lidah kita.


Kasus adat "Peupleu" (mempelintir) bahasa ini bisa kita tilik pada penamaan kota Lhokseumawe sekarang ini,  yang awalnya padahal bernama Teluk Samawi, kemudian di "blender" menjadi Lhokseumawe. dan lagi, nama Samudera yang dalam sejarah aslinya bernama Syummutrah ber-evolusi menjadi Samudera/Samudra (Taqiyuddin M, Dinasti Shalihiyyah di Sumatera). Hal-hal seperti ini barangkali dipengaruhi oleh penyusuaian pada kebiasaan dialek lokal.

Tanpa ada sedikitpun rasa bersalah, nama Sultan Malik As-Shalih dibelah-belah layaknya memisahkan potongan puzzle oleh pihak yang tidak bertanggung jawab, tega hati. Merubah nama Malik As-Shalih menjadi Malikussaleh  memang patut untuk dikaji ulang, karena tak bersumber padareferensi sejarah yang shahih sehingga timbul kekeliruan pada kasus nama menurut tulisan yang disamakan dengan nama panggilan kebiasaan, apalagi ini nama seorang Raja.

Kesalahan ini patut dikajai, Jika biasanya kita kaum terdidik menyebut nama Malik As-shalih dengan Malikussaleh namun tidak mesti kita menulisnya seperti sebutan tadi, karena selaku kaum berpendidikan sudah sepatunya kita sedikit kritis. Karena patokan kita selaku orang-orang berpendidikan bukan pada hal kebiasaan dialek lokal melainkan sesuai dengan artefak sejarah maupun ukiran nama di batu nisan beliau.

Selaku kaum yang telah dihadiahi kepintaran dalam pemahaman bahasa Arab maka sepatutnya kita mengkaji ulang bungkusan sejarah yang telah diwariskan oleh endatu sejak masa Samawi. Maka sejenak kita patut berfikir layakkah kita sebagai orang-orang yang ada di ruang lingkup kampus yang katanya intelek,  kemudian bersikap demikian terhadap nilai sejarah, “sudah salah hilang gelar, salah tulis nama pula”. Fenomena seperti ini seakan menyiratkan bahwa tipisnya pengakuan dari generasi saat ini terhadap kegemilangan sejarah di masa silam.


Entah bagaimana Seandainya Sultan Malik As-shalih melihat kelakuan bagaimana generasi unggulnya dimasa sekarang menyepelekan nama dan gelarnya yang susah payah didapatnya itu, ahh"


Saya jadi teringat sebuah cerita tentang sebuah bandara di Krueng Geukueh, yaitu Bandara Sulthan Malikussaleh. Penulisan nama Malikussaleh jika dikaji dengan pemahaman sejarah memang keliru seperti yang kita bahas diatas, namun kekeliruan itu  sepertinya sedikit bisa dimaklumi, namun disatu sisi kita bandingkanlah penghargaan mereka kepada gelar "sulthan"  dengan kita di perguruan tinggi Agama Islam yang didalamnya disesaki para cendiakawan maupun insan intelektual yang ahli dibidang pendidikan. Mereka memang bukan masyarakat yang di didik khusus secara strategi pendidikan ilmiah. 

Para mahasiswa dan masyarakat pengkaji sejarah Samudera Pasai secara terbuka meng-apresiasi kebijakan penamaan bandara tersebut karena tidak ada secuil pun upaya untuk membuang gelar Sulthan.  Sang Sultan yang tak sempat menuntut UU hak cipta ataupun Upeti atas hak paten penggunaan namanya ini adalah endatu kita.

Sebagai perbandingan, berikut kita simak dulu  nama – nama PTAIN di Indonesia yang menggunakan nama Lembaganya dengan nama-nama tokoh yang terkenal dari daerahnya masing-masing tanpa merabunkan gelar tokoh tersebut:

1. UIN Sultan Kasim Syarif Riau

2. STAIN Prof. DR. Mahmud Yunus Batu Sangkar
3. STAIN Syech M. Djamil Djambek Bukit Tinggi
4. IAIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi
5. STAIN Syaikh Abdurrahman Siddik Bangka Belitung
6. UIN Sunan Gunung Djati Bandung
 7. IAIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten 
8. IAIN Syekh Nurjati Cirebon
9. UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta 
10. IAIN Sunan Ampel Surabaya 
11. STAIN Sulthan Sulaiman Samarinda 
12. IAIN Sultan Amai Gorontalo 
 13. STAIN Dato Karama Palu 
 14. STAIN Sultan Qoimuddin Kendari 

Lantas kita bandingkan rasa penghargaan kita kepada Sultan Malik As-shalih dengan rasa  hormat orang-orang diluar Aceh yang menggunakan nama leluhurnya dengan baik tanpa cacat sedikitpun baik dalam hal ke-sejarahan maupun ke Cendiakawanannya. Kemudian yang patut dipertanyakan, apakah anugerah ke-intelektual-an yang kita miliki membawa kita berfikir untuk membuang gelar sang Endatu, ohh.

Tak habis pikir memang, penjarahan nama Malik As-Shalih ini layaknya kisah seorang Anak yang sangat menyanjung kebesaran Ayah-nya ,kemudian memakai nama Ayahnya atas penghargaan kepada sang Ayah. Tapi tanpa si anak sadari, dalam penulisannya si anak menghilangkan gelar sang Ayah sebagai seorang “Ayah/Bapak”(Padahal makna Seorang Ayah baginya adalah laki-laki yang menafkahinya dan berjasa memberinya pendidikan). 

Lantas yang tersisa kemudian bukanlah subuah kebanggan, melainkan hanya sebuah nama biasa yang salah eja dan tanpa orang lain tahu bahwa nama yang ditulisnya tersebut adalah nama Ayahnya. Dalam umpama di atas mari kita ibarat seorang anak itu diperankan oleh dan peran seorang tentu saja Sultan Malik As-Shalih.

Maka sebab itu, mulai dari sekarang marilah kita selaku Insan akademik yang peduli sejarah Samudera Pasai untuk menjaga nama baik Malik As-Shalih dengan tidak menimbun fakta-fakta yang telah melekat padanya sejak kita belum lmelihat dunia, bahkan nenek moyang kita pun belum belajar merangkak.

Artikel ini bukan ingin menghakimi ataupun menyalahkan salah satu pihak manapun, melainkan adalah sebagai upaya pembelajaran bagi generasi-generasi selanjutnya tentang bagaimana menjaga dan membendung upaya pengkaburan nilai sejarah.Harapan penulis semoga kedepannya Perguruan Tinggi yang bangunannya tertancap tegak di bumi buket rata ini akan melengkapi daftar PTAIN di atas di posisi urutan 15 dengan nama STAIN Sultan Malik As-Shalih atau selunak-lunaknya memakai nama STAIN Sultan Malikussaleh. 

Atau jika perjuangan kita berhasil dalam upaya alih status menjadi IAIN, semoga nama kampus tercinta ini dikemudian hari akan tertulis di lembaran ijazah-ijazah mahasiswa yang diwisuda nanti menggunakan nama IAIN Sultan Malik As-Shalih, Amiinn .(Penulis adalah Mahasiswa semester 3 Prodi KPI Jurusan Dakwah)


Logo UIN Ar-Raniry Banda Aceh

Logo Unsyiah

Logo Universitas Teuku Umar

Pamflet RSU Cut Meutia

Logo Baru Universitas Malikussaleh

Share this article :

+ comments + 1 comments

August 8, 2015 at 3:04 AM

Ralat dikit ya...
No 1 itu yang betul UIN Sultan Syarif Kasim biasa disingkat UIN SuSKA Riau. Thanks.

Post a Comment

 
Design Template by Teuku Reza Rizki | Support by creating website | Powered by Said Arif Tirtana