Berita Baru :
Hot News »
Bagikan kepada teman!

Pemkab Aceh Utara Lepas 580 Mahasiswa KPM STAIN Malikussaleh

Penulis : Unknown on Sunday, February 22, 2015 | 11:06 PM

Sunday, February 22, 2015

JURNALOGIKA - Pemerintah Kabupaten Aceh Utara lepas 580 mahasiswa STAIN Malikussaleh Lhokseumawe untuk mengikuti Kuliah Pengabdian Masyarakat (KPM) senin (16/02/2015) di halaman gedung jurusan dakwah Alu Awe Lhokseumawe.

Acara Pelepasan tersebut dilakukan oleh Staf Ahli Bupati Aceh Utara Bidang Pendidikan M. Nasir. Dalam sambutan tertulis yang dibacakan oleh M. Nasir, Bupati Aceh Utara mengatakan, kehadiran Mahasiswa STAIN Malikussaleh ditengah-tengah masyarakat kabupaten Aceh Utara dapat menjadi modal dan potensi yang besar untuk pembangunan Aceh Utara. “ dalam kegiatan KPM diharapkan mahasiswa dapat mengaplikasikan ilmu sebagai dharma bakti dalam berbagai sektor dengan penuh tanggung jawab demi tercapainya cita-cita pembangunan Aceh Utara”, harapnya.

Pelepasan mahasiswa KPM yang dilakuan secara simbolis melalui pemakaian baju almamater kepada dua perwakilan mahasiswa oleh Ketua STAIN Dr. H. Hafifuddin, M. Ag dan Staf Ahli Bupati Aceh Utara M. Nasir itu berlangsung khidmat.
Drs.Mahdi Syihab
Ketua Panitia, Drs. Mahdi Syihab, MH, mengatakan mahasiwa yang KPM gelombang pertama tahun ini akan disebar dalam 60 gampong di 7 kecamatan , yakni Kecamatan Cot Girek, Baktiya , Baktiya Barat, Jambo Aye, Langkahan,  Nisam , dan Muara Dua. Mahdi berharap, mahasiswa dapat membawa pengaruh yang baik kepada masyarakat dan menjadi tolak ukur sebagai agen perubahan untuk pembangunan masyarakat yang lebh baik.

Mahdi Juga menambahkan, Kuliah Pengabdian Masyarakat itu akan dilaksanakan oleh mahasiswa selama lebih kurang 44 hari setelah sebelumnya dibekali dengan Ilmu agama dipesantren. Setiap kelompok KPM untuk masing-masin desa penempatan mahasiswa akan didampingi oleh satu orang supervisor.


Sumber: stainmal.ac.id
comments | | Baca Selanjutnya...

Siapa Izinkan "Inoeng" asal Surabaya Ini jadi Perwakilan Aceh di Miss Indonesia?

Penulis : Unknown on Saturday, February 21, 2015 | 2:50 AM

Saturday, February 21, 2015

Ratna Nurlia Alfiandini mengaku perwakilan dari Aceh


"Seharusnya dia tahu bagaimana Aceh. Jika memang takut tidak menang karena pakai jilbab, jangan bawa nama Aceh..."


Malam puncak pergelaran Miss Indonesia 2015 akan digelar Senin (16/2) besok, dan ditayangkan live di salah satu stasiun TV swasta pada pukul 21.00 WIB. Bagi sebagian besar masyarakat provinsi lain di Indonesia, mereka mendukung wakilnya di ajang tersebut. Namun, itu tidak berlaku bagi masyarakat Aceh.

Wakil Aceh untuk tahun ini dalam Miss Indonesia 2015 adalah Ratna Nurlia Alfiandini yang berasal dari Surabaya. Menurut informasi yang diperoleh Harian Rakyat Aceh, Ratna adalah wanita kelahiran Surabaya, 17 Desember 1994. Ia tercatat sebagai mahasiswa Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Airlangga Surabaya saat ini.

Sepertinya bukanlah sebuah kebanggaan bagi masyarakat Aceh memiliki wakil yang disebut salah satu ajang bergengsi di Indonesia. Provinsi yang menjunjung tinggi syariat Islam ini tidak ingin memiliki wakil di ajang tersebut.

Hal ini dibuktikan dari sejumlah komentar disosial media dan dunia nyata yang tidak begitu nyaman dengan penampilan Ratna Nurlia Alfiandini karena tidak menggunakan jilbab.

"Dia sudah melanggar syariat Aceh, melanggar yang dibanggakan oleh masyarakat Aceh. Seharusnya dia tahu bagaimana Aceh. Jika memang takut tidak menang karena pakai jilbab, jangan bawa nama Aceh," ujar ketua umum Pelajar Islam Indonesia (PII) provinsi Aceh.

Gadis berkulit putih yang tidak mengenakan jilbab ini juga berprofesi sebagai model foto dan catwalk. Kakek neneknya disebut asli Sigli, Kabupaten Pidie. Ia juga dikabarkan pernah tinggal di Takengon dan Sigli.

Ajang kontes kecantikan di Indonesia seperti Miss Indonesia, selalu mendapat kecaman dari Aceh, dikarenakan beberapa wakil Aceh yang ikut ke ajang tersebut jarang menggunakan jilbab dan bertolak belakang dengan budaya Aceh yang Islami.

Ketua BEM Unsyiah Muhammad Hamzah berharap pemerintah mengambil sikap tegas. 

"Menurut saya tidak seharusnya dia mewakili Aceh dengan penampilan yang sangat tidak mencerminkan perempuan Aceh yang berkarakter Islami. Saya Berharap kepada pemerintah mengambil sikap tegas untuk menolak dia karena justru memberi citra buruk untuk Aceh," ungkapnya.

Senada dengan Hamzah, salah satu kader Pelajar Islam Indonesia (PII) Aceh, Ahmad Yanis juga mengharapkan ketegasan dari pemerintah dalam mengambil sikap demi syariat Islam di bumi Serambi Mekkah.

"Pemerintah harus tegas bahwa tidak ada izin dari pemerintah untuk membawa nama Aceh dalam kontes tersebut. Atau melarang secara tegas setiap peserta dari Aceh untuk ikut kontes. Kebanyakan yang ikut hanya membawa nama Aceh karena alasan keturunan saja sedangkan dia tidak mengerti Aceh," jelas Ahmad Yanis.

(*harian rakyat aceh)

comments (1) | | Baca Selanjutnya...

Makna Filosofi Rencong


Meski tidak ditemukan catatan sejarah yang mengisahkan asal usul Rencong, namun asal mula Rencong terekam dalam sebuah legenda Aceh. Dalam sebuah cerita rakyat dikisahkan. 

"Zaman dahulu di daratan Aceh hidup seekor burung raksasa sejenis Rajawali/Garuda, orang Aceh menyebutnya "Geureuda" -yang berarti serakah-. Keberadaan burung raksasa tersebut sangat menggangu kehidupan rakyat. semua jenis tanaman, buah-buahan dan ternak rakyat dilahapnya.


Semua jenis perangkap dan senjata yag digunakan untuk membunuhnya tidak mapan, malah makin lama "Geureuda" tersebut makin beringas melahap tanaman rakyat, mungkin dari legenda itulah sampai sekarang orang Aceh menyebutkan "Geureuda" kepada orang–orang yang serakah/rakus.


Oleh raja yang berkuasa ketika itu, memerintahkan seorang pandai besi yang juga ulama untuk menciptakan sebuah senjata ampuh yang mampu membunuh Geureuda tersebut.

Oleh pandai besi yang mempunyai ilmu maqfirat besi, setelah melakukan puasa, shalat sunat dan berdoa baru menempa besi pilihan dengan campuran beberapa unsur logam menjadi Rencong.


Menyebut senjata rakyat Aceh, selain meriam dan senjata api, yang paling terkenal adalah Rencong. Bahkan, salah satu gelar tanah Aceh disebut juga sebagai “Tanah Rencong”.

Rencong (Reuncong) adalah senjata tradisional dari Aceh. Rencong Aceh memiliki bentuk seperti huruf [ L ] atau lebih tepat seperti tulisan kaligrafi "Bismillah ".

Rencong termasuk dalam kategori dagger atau belati (bukan pisau atau pedang).

Rencong selain simbol kebesaran para bangsawan, merupakan lambang keberanian para pejuang dan rakyat Aceh di masa perjuangan. Keberadaan rencong sebagai simbol keberanian dan kepahlawanan masyarakat Aceh terlihat bahwa hampir setiap pejuang Aceh, membekali dirinya dengan rencong sebagai alat pertahanan diri.

Namun sekarang, setelah tak lagi lazim digunakan sebagai alat pertahanan diri, rencong berubah fungsi menjadi barang cinderamata yang dapat ditemukan hampir di semua toko kerajinan khas Aceh.


Menurut sejarahnya, rencong memiliki tingkatan. Pertama, rencong yang digunakan oleh raja atau sultan. Rencong ini biasanya terbuat dari gading (sarung) dan emas murni (bagian belatinya). Kedua, rencong-rencong yang sarungnya biasa terbuat dari tanduk kerbau atau kayu, sedangkan belatinya dari kuningan atau besi putih.

Bentuk rencong berbentuk kalimat bismillah, gagangnya yang melekuk kemudian menebal pada sikunya merupakan aksara Arab "Ba", bujuran gagangnya merupaka aksara "Sin", bentuk lancip yang menurun kebawah pada pangkal besi dekat dengan gagangnya merupakan aksara "Mim", lajur besi dari pangkal gagang hingga dekat ujungnya merupakan aksara "Lam", ujung yang meruncing dengan dataran sebelah atas mendatar dan bagian bawah yang sedikit keatas merupakan aksara "Ha".

Rangkain dari aksara BaSinLam, dan Ha itulah yang mewujudkan kalimat Bismillah.

Jadi pandai besi yang pertama kali membuat rencong, selain pandai maqrifat besi juga memiliki ilmu kaligrafi yang tinggi. Oleh karena itu , rencong tidak digunakan untuk hal-hal kecil yang tidak penting, apalagi untuk berbuat keji, tetapi rencong hanya digunakan untuk mempertahankan diri dari serangan musuh dan berperang dijalan Allah.


Secara umum, ada empat macam rencong yang menjadi senjata andalan masyarakat Aceh.
  • Rencong Meucugek (Meucungkek), Disebut meucugek karena pada gagang rencong terdapat suatu bentuk panahan dan perekat yang dalam istilah Aceh disebut cugek atau meucugek. Cugek ini diperlukan untuk mudah dipegang dan tidak mudah lepas waktu menikam ke badan lawan atau musuh. 
  • Rencong Meupucok, Rencong ini memiliki pucuk di atas gagangnya yang terbuat dari ukiran logam yang pada umumnya dari emas. Gagang dari rencong meupucok ini kelihatan agak kecil, yakni pada pegangan bagian bawah. Namun, semakin ke ujung gagang ini semakin membesar. Jenis rencong semacam ini digunakan untuk hiasan atau sebagai alat perhiasan. Biasanya, rencong ini dipakai pada upacara-upacara resmi yang berhubungan dengan masaalah adat dan kesenian. 
  • Rencong Pudoi, Rencong jenis ini gagangnya lebih pendek dan berbentuk lurus, tidak seperti rencong umumnya. Terkesan, rencong ini belum sempurna sehingga dikatakan pudoi. Istilah pudoi dalam masyarakat Aceh adalah sesuatu yang diangap masih kekurangan atau masih ada yang belum sempurna. 
  • Rencong Meukuree, Perbedaan rencong meukuree dengan jenis rencong lain adalah pada matanya. Mata rencong jenis ini diberi hiasan tertentu seperti gambar ular, lipan, bunga, dan sebagainya. Gambar-gambar tersebut oleh pandai besi ditafsirkan dengan beragam macam kelebihan dan keistimewaan. Rencong yang disimpan lama, pada mulanya akan terbentuk sejenis aritan atau bentuk yang disebut kuree. Semakin lama atau semakin tua usia sebuah rencong, semakin banyak pula kuree yang terdapat pada mata rencong tersebut. Kuree ini dianggap mempunyai kekuatan magis. 
Rencong yang ampuh biasanya dibuat dari besi-besi pilihan, yang di padu dengan logam emas, perak, tembaga, timah dan zat-zat racun yang berbisa agar bila dalam pertempuran lawan yang dihadapi adalah orang kebal terhadap besi, orang tersebut akan mampu ditembusi rencong.

Gagang rencong ada yang berbentuk lurus dan ada pula yang melengkung keatas. Rencong yang gagangnya melengkung ke atas disebut Reuncong Meucungkek, biasanya gagang tersebut terbuat dari gading dan tanduk pilihan.

Bentuk meucungkek dimaksud agar tidak terjadinya penghormatan yang berlebihan sesama manusia, karena kehormatan yang hakiki hanya milik Allah semata.

Maksudnya, bila rencong meucungkek disisipkan dibagian pinggang atau dibagian pusat, maka orang tersebut tidak bisa menundukkan kepala atau membongkokkan badannya untuk memberi hormat kepada orang lain karena perutnya akan tertekan dengan gagang meucungkek tersebut.


Gagang meucungkek itu juga dimaksudkan agar, pada saat-saat genting dengan mudah dapat ditarik dari sarungnya dan tidak akan mudah lepas dari genggaman.

Satu hal yang membedakan rencong dengan senjata tradisional lainnya adalah rencong tidak pernah diasah karena hanya ujungnya yang runcing saja yang digunakan.
***


Sumber: www.atjehcyber.net
comments | | Baca Selanjutnya...

Sabang, Sebongkah Tanah Turun dari Surga


Semua pasti tahu Sabang, pulau di paling Barat Indonesia. Disini terletak monumen nol kilometer Indonesia. Pulau yang masuk dalam Provinsi Aceh ini, memiliki ragam keistimewaan mulai dari kuliner, objek wisata dan tentu keramahan penduduknya. Bermodal kelebihan itu, pemerintah Kota Sabang pun berani menargetkan kawasan ini jadi destinasi pilihan turis asing untuk berlibur.

Bahkan, Wali Kota Sabang nekat untuk ‘membayar’ maskapai Garuda Indonesia, demi dibukanya rute Medan – Sabang. Seperti apa?

Pukul 10.42, Jumat (6/2/2015), pesawat ATR 72-600 Garuda Indonesia yang dipiloti Kapten Andreas Kristianto mendarat di Bandara Maimun Saleh di Kota Sabang, Aceh, setelah terbang selama 1 jam 20 menit dari Bandara Internasional Kualanamu di Medan, Sumatera Utara.

Peristiwa ini menandakan sejarah baru khususnya bagi pariwisata Aceh, khususnya Sabang.

Pasalnya penerbangan perdana Medan-Sabang semakin mempermudah wisatawan untuk menikmati keindahan Sabang, wilayah paling barat Indonesia itu. Dengan pengoperasian rute Medan-Sabang, maka setiap Minggu, Garuda Indonesia telah mengoperasikan sebanyak 32 penerbangan dari Aceh setiap minggunya.


Nama Sabang di Pulau Weh, Aceh, perlahan-perlahan mulai mencuri perhatian dan pelan-pelan dikenal di kalangan wisatawan dalam dan luar negeri. Kota ini memiliki warisan alam yang tak terlukiskan dengan kata-kata semata. Salah satunya adalah pemandangan alam yang luar biasa dan pantai-pantai yang memiliki karakteristik.

Tercatat, objek wisata di kawasan ini antara lain Pantai Iboih, Gapang, Kinci, Danau Aneuk Laot, Paradiso, Pantai Kasih, Sumur Tiga, Anoi Itam, Jaboi dan Pasir Putih. Pantai-pantai itu kini makin dibanjiri wisatawan untuk snorkeling dan diving, semakin menggairahkan pariwisata Sabang.

Wisata snorkeling dan diving di pulau Iboih, cukup memiliki karakteristik yang khas dengan pemandangan bawah laut yang luar biasa dan kumpulan ratusan hewan air di dalamnya. Indopost melaporkan apabila menggunakan skala 1 – 10, dari seluruh destinasi wisata yang ada, Sabang mendapat nilai Sembilan (9).

“Pulau ini terbuka untuk siapapun. Mulai dari turis lokal sampai turis asing. Tidak ada disini yang namanya menolak wisatawan,” ujar Zulkifli H Adam, Wali Kota Sabang.

Selain wisata bahari, jangan lupa, posisi Sabang di ujung barat Aceh menjadikan wilayah ini memiliki Tugu Nol Kilometer. Tugu ini selalu diramaikan pengunjung. Rasanya Anda belum sah dikatakan ke Sabang jika belum menyambangi Tugu Nol Kilometer.

Zulkifli yang sejak dua tahun lalu memimpin Kota Sabang memastikan warganya tidak akan bersifat ‘alergi’ dengan wisatawan yang datang dari seluruh penjuru dunia yang memiliki beragam karakteristik.

Kalimat ini terlontar seolah menjelaskan bahwa Kota Sabang, yang merupakan bagian dari Aceh sangat aman dan tidak pernah menolak apa yang namanya investasi dan perkembangan ekonomi. Menurut pria yang aktif di Partai Aceh ini, sejak Aceh bergejolak sejak puluhan tahun silam hingga saat ini, Kota Sabang adalah daerah paling aman.

Penduduk cinta damai dan mengedepankan keramahtamahan. Penduduk sudah memahami bahwa wisatawan baik lokal maupun orang asing, adalah investasi dan harus dijaga agar roda perekonomian terus berjalan. Apalagi, Kota Sabang dihuni oleh warga yang majemuk dari sisi agama maupun suku.

“Wisatawan mau parkir kendaraan di sembarang tempat, tidak akan ada yang curi atau hilang. Inilah Sabang yang bersiap menjadi Kota wisata,” jelasnya, meyakinkan betapa amannya Kota Sabang untuk berinvestasi.

Aksi Nekad Walikota

Aksi ‘nekat’ wali kota untuk menjadikan Kota Sabang menjadi kota wisata pun tidak hanya sampai pada pembenahan sistem di pemerintahan. Pria ini pun memberlakukan pelabuhan bebas. Hampir setiap bulan, kapal-kapal pesiar dari luar negeri singgah di kawasan ini.

Apalagi pelabuhan di bangun di kawasan yang memang lautnya dalam dan mampu disandari oleh kapal pesiar. Termasuk juga merealisasikan transportasi laut yang dapat mengangkut penumpang setiap harinya. Dengan konsep ini, Kota Sabang 24 jam dapat disinggahi wisatawan dengan menggunakan jasa kapal Ferry.

Yang paling nekat dan paling ekstrem yang dilakukan pria berkacamata ini dengan menggandeng maskapai Garuda Indonesia untuk membuka rute penerbangan dari Medan ke Sabang.

Pria ini menandatangani MoU dengan resiko wajib mensubsidi biaya penerbangan apabila penumpang yang terbang ke Sabang tidak lebih dari 22 orang atau tidak terisi sampai 22 sheet. Jadwal penerbangan yang dibuat menuju Sabang dan sebaliknya, ke Kuala Namu, Medan pun dibuka tiga kali dalam seminggu, setiap hari Rabu, Jumat dan Minggu.

Menanggapi aksi nekatnya tersebut, Zulkifli yang pernah berprofesi sebagai sopir truk ini menjelaskan, dengan keindahan Kota Sabang dan keramahan warganya, optimisme daerah ini bakal jadi salah satu destinasi yang paling dibanjiri wisatawan sangat kuat. Merealisasikan hal tersebut, harus diimbangi dengan perluasan jaringan transportasi. Jadi wisatawan memiliki opsi untuk menggunakan jalur laut yang harus melalui Aceh atau menggunakan jalur udara yang dilayani oleh Garuda Indonesia.

Pemkot Sabang terangnya optimis bahwa layanan penerbangan menggunakan pesawat ATR 72-600 yang digawangi oleh Garuda Indonesia bakal diminati oleh wisatawan karena langsung terbang dari Kuala Namu, Medan menuju Sabang.

“Pemkot Sabang akan mempertahankan rute penerbangan ini demi membuka pilihan transportasi yang lebih cepat dan aman. Ini untuk meningkatkan kehadiran wisawatan. Bila perlu semua pejabat daerah yang mau ke luar kota untuk perjalanan dinas harus naik pesawat Garuda. Kalau tidak ya siap-siap saja, karena tidak patuh pada pimpinan,” katanya dengan nada bergurau dipadu logat Aceh yang khas, disambut gelak tawa jajaran pegawai Kota Sabang saat penyambutan penerbangan perdana Pesawat Garuda Indonesia di Landasan Udara Maimun Saleh, Kota Sabang.

Tugu NOL Kilometer yang Baru

Menurut Zulkifli, Sabang daerah perbatasan dan satu-satunya yang memiliki Tugu Nol Kilometer. Tugu Nol Kilometer Sabang saat ini sedang ditutup karena pemugaran, jadi sebaiknya para wisatawan jangan datang dulu ke Sabang, sebab akan kecewa.

"Saat ini tugu tersebut sedang dipugar. Kalau dulu, tugu ini hanya biasa-biasa saja. Tahun ini Tugu Nol Kilometer akan berdiri megah. Siap-siap saja kalau datang ke Sabang, wisatawan akan melihat megahnya Tugu Nol Kilometer," kata Zulkifli.

"Nantinya, jika tugu ini selesai, wisatawan bisa foto dan keluar sertifikat bahwa mereka sudah pernah ke Tugu Nol Kilometer," tukasnya. (*lihat Tugu Nol Kilometer yang baru)

Pada tahun 2012, jumlah wisatawan ke Sabang tercatat 80.000 orang. Tahun 2013, jumlahnya meningkat menjadi 450.000 orang, dan 2014 naik menjadi 1 juta wisatawan.



Menurut Zulkifli, Saat Aceh bergejolak, Sabang merupakan daerah paling aman di Aceh. Panorama alam Sabang, baik itu udaranya, alamnya, maupun baharinya sangat indah, ditambah jenis ikan yang beraneka ragam. Terumbu karang di Sabang juga sangat bagus.

"Jenis ikan di Sabang sudah dihitung oleh ahli dari Inggris, ada sebanyak 538 ikan hias.Hal ini bisa langsung dinikmati wisatawan dalam dan luar negeri."

Sabang itu kata Zulkifli, ibarat "sebongkah tanah turun dari surga". Kok bisa?

Di Sabang ada gunung api di darat dan juga laut. Kalau di daerah lain butuh berhari-hari mencapai gunung berapi. Kata dia, di Sabang, wisatawan hanya turun mobil, lantas berjalan sepanjang 80-100 meter, mereka sudah bisa mencapai gunung berapi.

"Saya pernah ke luar negeri. Tidak pernah saya lihat satu kali pandang kita bisa lihat danau, gunung, laut, dan pulau-pulau kecil. Tidak ada hal seperti ini bisa kita saksikan di negara lain, kecuali di Sabang," tukasnya.

Untuk wisatawan kapal pesiar, Sabang memiliki keunggulan kedalaman laut kita (yang mencapai) 25 meter dan kapal langsung sandar. Biasanya wisatawan kapal pesiar turun ke darat dan berkeliling selama 8 jam atau setengah dari Pulau Weh untuk berwisata.

"Kebanyakan, kapal pesiar dari Eropa," tandasnya.


Apabila anda berkesempatan menyambangi lokasi yang menjadi titik nol kilometer Indonesia bagian Barat ini, jangan lupa juga untuk menikmati beberapa penganan khas. Mie Aceh, Mie Sedap, Kopi Aceh hingga Martabak Telur dan Sate Gurita dipastikan akan memanjakan lidah anda. Termasuk juga menyaksikan langsung wajah baru tugu titik nol kilometer yang saat ini dalam tahap renovasi.

Berapa biaya untuk tiba di Sabang? 

Untuk satu kali perjalanan dibutuhkan dana dikisaran Rp4 juta untuk transportasi udara menggunakan Garuda Indonesia. Penginapan dimulai dikisaran harga Rp180 ribu per malam jenis Cottage. Biaya sewa mobil dikisaran Rp450 ribu per hari atau dapat juga menyewa motor untuk lebih menghemat biaya. Biaya Snorkeling dimulai dari Rp75 ribu dengan menyewa speed boat Rp200 ribu. Selebihnya, tinggal siapkan uang saku anda untuk mencicipi kuliner khas Sabang!

kompas/indopost

comments | | Baca Selanjutnya...

Titik Temu Wahabi - NU


Oleh Ali Mustafa Yaqub, Imam Besar Masjid Istiqlal

Banyak orang terkejut ketika seorang ulama Wahabi mengusulkan agar kitab-kitab Imam Muhammad Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdlatul Ulama, diajarkan di pesantren-pesantren dan madrasah-madrasah Islam di Indonesia.

Hal itu karena selama ini dikesankan bahwa paham Wahabi yang dianut oleh pemerintah dan mayoritas warga Arab Saudi itu berseberangan dengan ajaran Nahdlatul Ulama yang merupakan mayoritas umat Islam Indonesia.

Tampaknya selama ini ada kesalahan informasi tentang Wahabi dan NU. Banyak orang Wahabi yang mendengar informasi tentang NU dari sumber-sumber lain yang bukan karya tulis ulama NU, khususnya Imam Muhammad Hasyim Asy’ari. Sebaliknya, banyak orang NU yang memperoleh informasi tentang Wahabi tidak dari sumber-sumber asli karya tulis ulama-ulama yang menjadi rujukan paham Wahabi.

Akibatnya, sejumlah orang Wahabi hanya melihat sisi negatif NU dan banyak orang NU yang melihat sisi negatif Wahabi. Penilaian seperti ini tentulah tidak objektif, apalagi ada faktor eksternal, seperti yang tertulis dalam Protokol Zionisme No 7 bahwa kaum Zionis akan berupaya untuk menciptakan konflik dan kekacauan di seluruh dunia dengan mengobarkan permusuhan dan pertentangan.

Untuk menilai paham Wahabi, kita haruslah membaca kitab-kitab yang menjadi rujukan paham Wahabi, seperti kitab-kitab karya Imam Ibnu Taymiyyah, Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, dan termasuk kitab-kitab karya Syekh Muhammad bin Abdul Wahab yang kepadanya paham Wahabi itu dinisbatkan.

Sementara untuk mengetahui paham keagamaan Nahdlatul Ulama, kita harus membaca, khususnya kitab-kitab karya Imam Muhammad Hasyim Asy'ari yang mendirikan Jam’iyyah Nahdlatul Ulama.

Kami telah mencoba menelaah kitab-kitab karya Imam Muhammad Hasyim Asy’ari dan membandingkannya dengan kitab-kitab karya Imam Ibnu Taymiyyah dan lain-lain. Kemudian, kami berkesimpulan bahwa lebih dari 20 poin persamaan ajaran antara Imam Muhammad Hasyim Asy’ari dan imam Ibnu Taymiyyah.

Bahkan, seorang kawan yang bukan warga NU, alumnus Universitas Islam Madinah, mengatakan kepada kami, lebih kurang 90 persen ajaran Nahdlatul Ulama itu sama dengan ajaran Wahabi.

Kesamaan ajaran Wahabi dan NU itu justru dalam hal-hal yang selama ini dikesankan sebagai sesuatu yang bertolak belakang antara Wahabi dan NU. Orang yang tidak mengetahui ajaran Wahabi dari sumber-sumber asli Wahabi, maka ia tentu akan terkejut.

Namun, bagi orang yang mengetahui Wahabi dari sumber-sumber asli Wahabi, mereka justru akan mengatakan, "Itulah persamaan antara Wahabi dan NU, mengapa kedua kelompok ini selalu dibenturkan?"

Di antara titik-titik temu antara ajaran Wahabi dan NU yang jumlahnya puluhan, bahkan ratusan itu adalah sebagai berikut. Pertama, sumber syariat Islam, baik menurut Wahabi maupun NU, adalah Alquran, hadis, ijma, dan qiyas. Hadis yang dipakai oleh keduanya adalah hadis yang sahih kendati hadis itu hadis ahad, bukan mutawatir.

Karenanya, baik Wahabi maupun NU, memercayai adanya siksa kubur, syafaat Nabi dan orang saleh pada hari kiamat nanti, dan lain sebagainya karena hal itu terdapat dalam hadis-hadis sahih.

Kedua, sebagai konsekuensi menjadikan ijma sebagai sumber syariat Islam, baik Wahabi maupun NU, shalat Jumat dengan dua kali azan dan shalat Tarawih 20 rakaat. Selama tinggal di Arab Saudi (1976-1985), kami tidak menemukan shalat Jumat di masjid-masjid Saudi kecuali azannya dua kali, dan kami tidak menemukan shalat Tarawih di Saudi di luar 20 rakaat.

Ketika kami coba memancing pendapat ulama Saudi tentang pendapat yang mengatakan bahwa Tarawih 20 rakaat itu sama dengan shalat Zhuhur lima rakaat, ia justru menyerang balik kami, katanya, "Bagaimana mungkin shalat Tarawih 20 rakaat itu tidak benar, sementara dalam hadis yang sahih para sahabat shalat Tarawih 20 rakaat dan tidak ada satu pun yang membantah hal itu." Inilah ijma para sahabat.

Ketiga, dalam beragama, baik Wahabi maupun NU, menganut satu mazhab dari mazhab fikih yang empat. Wahabi bermazhab Hanbali dan NU bermazhab salah satu dari mazhab empat: Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali.

Baik Wahabi (Imam Ibnu Taymiyyah) maupun NU (Imam Muhammad Hasyim Asy’ari), sama-sama berpendapat bahwa bertawasul (berdoa dengan menyebut nama Nabi Muhammad SAW atau orang saleh) itu dibenarkan dan bukan syirik.

Kendati demikian, Imam Muhammad Hasyim Asy’ari dalam kitabnya, al-Nur al-Mubin fi Mahabbah Sayyid al-Mursalin, mensyaratkan bahwa dalam berdoa dengan tawasul menyebut nama Nabi Muhammad SAW atau orang saleh, kita tetap harus yakin bahwa yang mengabulkan doa kita adalah Allah SWT, bukan orang yang namanya kita sebut dalam tawasul itu. Wahabi dan NU sama-sama memercayai adanya karamah para wali (karamat al-awliya) tanpa mengultuskan mereka.

Memang ada perbedaan antara Wahabi dan NU atau antara Imam Ibnu Taymiyyah dan Imam Muhammad Hasyim Asy’ari. Namun, perbedaan itu sifatnya tidak prinsip dan hal itu sudah terjadi sebelum lahirnya Wahabi dan NU.

Dalam praktiknya, baik Wahabi maupun NU, tidak pernah mempermasalahkan keduanya. Banyak anak NU yang belajar di Saudi yang notabenenya adalah Wahabi. Bahkan, banyak jamaah haji warga NU yang shalat di belakang imam yang Wahabi, dan ternyata hal itu tidak menjadi masalah.

Wahabi dan NU adalah dua keluarga besar dari umat Islam di dunia yang harus saling mendukung. Karenanya, membenturkan antara keduanya sama saja kita menjadi relawan gratis Zionis untuk melaksanakan agenda Zionisme, seperti tertulis dalam Protokol Zionisme di atas. Wallahu al-muwaffiq.

sumber: republikacoid

comments | | Baca Selanjutnya...

OPINI - Menyimak Kemunafikan Politik Birokrasi Di Aceh

Penulis : Unknown on Thursday, February 12, 2015 | 2:33 AM

Thursday, February 12, 2015

Oleh : Usman Cut Raja.(wartawan jurnalatjeh.com)
Gubernur Aceh, Zaini Abdullah sudah beberapa kali melakukan perombakan dan pergantian pajabat di lingkungan Pemerintah Aceh. Dalam setiap pelantikan, Gubernur kerap mengatakan, mutasi pejabat adalah bentuk penyegaran organisasi dalam meningkatkan kinerja roda pemerintahan, serta peningkatan pelayanan kepada masyarakat Aceh.
Pergantian yang dilakukan sama sekali tidak mengandung unsur hukuman, tidak ada pula unsur kebencian. Yang ada hanyalah penyegaran dengan tujuan untuk menciptakan perubahan ke arah yang lebih baik.Langkah pergeseran atau tour of duty sebagai momentum untuk evaluasi.
Yang harus dipahami, kata Gubernur, jabatan yang diemban ini bukanlah  hadiah, bukan hak, dan bukan pula kepemilikan. Jabatan ini adalah amanah yang harus dipertanggungjawabkan di kemudian hari. Amanah dan jujur merupakan tonggak menuju keberhasilan.
Pernyataan yang disampaikan Gubernur ini sangat jelas dan tegas dan kita yakin tidak ada pejabat yang berani ingkar. Cuma dalam pengalaman selama ini, kita sudah sulit menemukan pejabat yang berani mengatakan yang sebenarnya kepada atasannnya. Kebanyakan mareka,
hanya ingin bagaimana agar disenangi atasan, meskipun dengan cara memunafikan kebenaran sekalipun.
Kita masih menyangsikan sikap amanah dan jujur dikalangan pejabat pejabat yang kini ditempatkan. Diantara kesangsian kita dan masih bertanya tanya, misalnya, mampukan mareka melakukan pemerataan kesejahteraan kepada masyarakat, keadilan dan tidak ada lagi korupsi, kolusi dan nepotisme.
Namun apapun ceritanya, kita masih menaruh percaya kepada Zaini Abdullah karena dalam penempatan pejabat di era reformasi birokrasi sekarang ini amatlah penting, karena bagaimanapun seorang pemimpin haruslah didampingi oleh orang-orang yang sejalan dengannya.
Kita juga masih menaruh percaya penempatan pejabat yang dilakukan benar benar didasarkan kepada profesionalisme, kompetensi, bakat, kemampuan dan keahlian pejabat yang bersangkutan dalam bidang dimana ia ditempatkan, bukan didasarkan atas dasar suka tidak suka.
Jika seorang pemimpin menempatkan seseorang hanya didasarkan atas kepentingan pribadi atau golongan tertentu saja, maka bagi yang kurang kuat pendiriannya, mudah  melakukan pekerjaan munafik. Makin lama, makin banyak munafiknya, karena sudah terbiasa. Malahan berbuat munafik sudah dianggap biasa.
Karena sudah terbiasa, melakukan pekerjaan munafik, begitu memegang kunci penentu (decesion maker atau determinator), sudah terlatih. Nalurinya sudah peka bagaimana mengibuli rakyat. Inderanya begitu tajam mana yang bisa dimunafikkan.
Mengutip Evendhy M.Siregar dalam bukunya, Profesionalisme Birokrasi dapat disimpulkan, dizaman reformasi yang kebablasan sekarang ini, tidak sedikit kita jumpai orang-orang yang takut kehilangan status social (jabatan)nya.
Sekarang ini, banyak kita jumpai, khususnya pejabat tidak berani mengeluarkan pendapat, memberikan saran dan masukan kepada pimpinan apalagi dalam bentuk kritik. Jika sikap diam dan pura-pura tidak tahu, cuek atau masa bodoh yang berkembang, maka sadar atau tidak telah mengajar kita selalu mengalah dan mengorbankan hati nurani.
Yang lebih buruk lagi, para pejabat cendrungan untuk menipu dirinya sendiri sehingga tidak lagi mengenal dirinya sendiri. Pejabat yang demikiian, dikhawatirkan akan terus bertambah sementara pejabat yang berani bertanya, berani memberikan saran atau masukan kepada pimpinan karena memegang prinsip mempunyai resiko, tidak akan mendapat jabatan.
Evendhy M.Siregar, dalam tulisan lainnya mensitir ungkapan seorang politikus amatiran yang mengatakan “ Bung harus belajar menyesuaikan diri. Kita harus luwes bergaul, supaya hidup kita selamat dan karier bisa menanjak. Tidaklah salah, sedikit-sedikit munafik. Supaya kita jangan lain dari yang lain. Nanti orang akan muak melihat kita, karena dikira sok alim.
Timbulnya fenomena seperti di atas apakah merupakan imbas dari penerapan Otonomi Daerah, yang memberikan kewenangan penuh kepada Pemerintah Kabupaten/Kota untuk mengurus dan mengatur rumah tangganya sendiri.  Setuju atau tidak, dalam kenyataannya dengan deberlakukannya otonomi daerah sejak tahun 1999 lalu, telah membawa dampak positif terhadap kondisi sosio politik diberbagai daerah termasuk di Aceh
Dapat terlihat, sistem pemerintahan di Aceh berkembangnya sistem pemerintahan yang sentralistik dengan tradisi local dan hubungan patron-klien yang masih terus berlangsung diantara birokrat. Praktek sehari-hari  memberikan gambaran mengenai seberapa jauh teknik-teknik sentralistik dan hirarkis yang lama masih terjadi dalam pemerintahan di Aceh.
Misalnya dalam proses pengambilan kebijakan sehari-hari, kebanyakan pejabat seniorlah yang menentukan banyak hal. Semakin senior seorang birokrat, semakin dia yang menentukan keputusan. Dengan begitu, bisa dikatakan bahwa prosedur-prosedur administrasi dan pemerintahan didominasi oleh elit-elit local.
Melihat kepada lokalitas Aceh yang memiliki ruang, identitas dan perwatakan tersendiri hingga memiliki dinamika tersendiri yang tidak dapat dicampur adukkan dan digeneralisir. Kekhasan dinamis yang dimiliki Aceh menyimpan banyak persamaan pola, kepentingan dan
sejenisnya.
Mungkin disinilah peran Gubernur Aceh, Zaini Abdullah untuk melihat kekhasan dan perwatakan local yang dinamis tersebut, problem lokalitas dapat diselesaikan dengan menggunakan pengetahuan-pengetahuan local yang tumbuh dan berkembang di lingkungan masyarakat di dalamnya.
Disinilah barangkali nantinya aspek lokalitas menjadi sesuatu yang penting dalam pengelolaan dinamika politik di Aceh.
Karenanya pula sebagai eksponen penyelenggaraan pemerintahan di Aceh, para pejabat daerah dituntut untuk berperan aktif dalam mengelola dinamika politik secara pro aktif, sesuai dengan situasi dan kondisi setempat. Pengelolaan dinamika politik ini seyogyanya mengacu pada bekerjanya institusi-institusi setempat.
Kaitan dengan hal ini, pejabat pemerintah yang bermaksud untuk ambil bagian dalam mengelola dinamika masyarakat dituntut untuk faham terhadap pasang surutnya dinamika tersebut. Namun terkadang, karena keterbatasan pengetahuan mereka tentang arti dan pemahaman politik lokal membuat mereka jadi seenaknya saja melakukan politik busuk.
Dalam politik busuk semua hal dipolitisir dengan mengemukakan alasan-alasan yang dibuat sendiri, tanpa mengindahkan norma-norma politik itu sendiri, tidak jarang mereka selalu mencari dan mengemukakan kata-kata pembenar yang justru sebenarnya tidak benar.
Akibatnya konotasi politik itu sendiri menjadi amburadul dan berkonotasi negatif dalam pandangan masyarakat.
Keadaan semacam ini banyak terjadi dalam Birokrasi Pemerintahan di Aceh, Kepala Daerah seolah menjadi raja kecil di daerah kekuasaannya, berbuat dan bertindak dengan kebijakan yang dibuatnya sendiri dengan alasan dan argumentasi yang dibuat sendiri tanpa mempertimbangkan atau berpijak pada ketentuan dan rambu rambu hukum yang berlaku.
Lebih parah lagi kedudukan pegawai sesuai dengan tingkat kemampuan/kualitas pegawai, sesuai dengan profesionalisme atau tingkat kompetensi yang dimiliki, tidak terpakai. Yang ditempatkan justru orang-orang yang dianggap telah berjasa memenangkannya, orang orang
yang dekat dengan keluarganya atau orang-orang yang memiliki kemampuan cari muka dihadapannya.
Sudah menjadi tradisi di birokrasi pemerintahan di Aceh, baik tingkat provinsi maupun di kabupaten/kota, bila Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah telah berganti, maka para Kepala SKPD dan pejabat lainnya sudah mulai tidak tenang dalam bekerja, karena sudah pasti tsunami mutasi akan menimpa mereka.
Kita dapat melihat di hampir semua daerah di Aceh, begitu Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dilantik, tidak lama kemudian, para SKPD dan Camat digusur dan dicopot dari jabatannya bahkan, tanpa melalui proses hukum yang jelas, dan terkadang amat menyakitkan.
Yang menyedihkan lagi adalah para pejabat yang dicopot itu tidak lagi mendapat jabatan alias Non Job. Kita sangat sayangkan tindakan dari sang penguasa Kepala Daerah seperti ini, sebab bukti riel memperlihatkan bahwa dintara beberapa pejabat atau camat yang dicopot
dan di non jobkan itu, terdapat beberapa yang berprestasi misalnya dengan meraih sebagai Pejabat Teladan.
Disinilah terkadang para Kepala Daerah lupa kepada ucapannya yang selalu bertindak adil, dan akan menempatkan pejabat sesuai dengan kompetensi dan profesionalisme yang dimiliki
masing-masing, bahkan ketika telah melakukan mutasipun ia sempat mengatakan bahwa dalam mutasi telah dilakukan sesuai dengan kompetensi dan profesionalisme masing-masing.
Kita bisa melihat, para lulusan APDN sebagai camat karena memang para alumni APDN disiapkan untuk itu, tapi kenyataannya, banyak camat yang di non jobkan dan menempatkan camat dari pegawai yang berpendidikan diluar Alumni APDN, STPDN, IIP dan IPDN. Padahal alumni tersebut merupakan pendidikan kedinasan Kementerian Dalam Negeri yang segala biaya pendidikannya ditanggung oleh Negara.
Makanya jangan heran bila istilah Non Job sekarang telah menjadi momok yang mengerikan bagi pejabat di Aceh. Apakah ini yang dinamakan profesionalisme. Pemimpin semacam inilah yang memang harus ada di Aceh sekarang ini.  Wallahua’lambisawab.[].

sumber : jurnalaceh.com
comments | | Baca Selanjutnya...

Jurnalogika Team

dakwah.stainmal.ac.id

Blogroll

Iklan

Comments
Comments
 
Design Template by Teuku Reza Rizki | Support by creating website | Powered by Said Arif Tirtana